Tradisi Adat Perang Ketupat Bangka



Rp. 0.00 Rp. 0.00

Detil
KodePGK - Perang Ketupat Bangka
DeskripsiSalah satu tradisi adat yang di selenggarakan tiap tahun sebelum bulan Ramadhan yaitu tradisi perang ketupat Bangka Propinsi Bangka Belitung

Pesta Adat Perang Ketupat bangka di adakan setiap bulan sya'ban atau bulan Ruah di desa Tempilang yang merupakan tujuan wisata agent tour bangka belitung . Acara ini biasa di adakan di Pantai Pasir Kuning Tempilang kabupaten Bangka Barat.. Biasanya acara rutin yang terangkai dalam Perang Ketupat yakni campak, ngancak simbolis, ritual dan perang ketupat, tari serimbang, kedidi dan pencak silat.

Mitos Tradisi adat Perang Ketupat Bangka

Sebagaimana di ceritakan oleh Deraham, pria berusia 63 tahun yang sudah sekitar 38 tahun rnengabdi sebagai perangkat desa dan sekarang menjabat salah satu kadus di Desa Benteng Kota Kecamatan Ternpilang kabupaten Bangka Barat, rnembenarkan haI itu.

"Asal muasaI perang ketupat ini berdasarkan cerita dari rnulut ke rnulut dari para tetua kita terdahulu. Dulu saya cukup rajin rnenanyakan seputar perang ketupat ini kepada tokoh masyarakat di Tempilang kabupaten Bangka Barat Propinsi Bangka Belitung ini, dan beberapa keterangan mereka tentang perang ketupat ini sempat saya catat," .

Deraham mengungkapkan, berdasarkan cerita terun temurun tersebut, perang ketupat bermula dari kisah terdamparnya sepasang suami isteri yang tidak diketahui asalnya pada zaman urang lorn di pesisir Pantai Tempilang kabupaten Bangka Barat yang lokasinya diperkirakan di belakang kediaman Kepala Desa Benteng Kota, Satria Kamut. Setelah terdampar, pasangan suami isteri ini akhirnya menetap di pesisir pantai tersebut hingga singkat cerita melahirkan seorang anak perempuan.

Ketika memasuki usia remaja, gadis tersebut kerap menghilang di saat tengah hari tiba tanpa diketahui sebabnya. Setelah diselidiki, ternyata gadis tersebut diambil (diculik) siluman buaya. Agar anak gadisnya terhindar dari gangguan sang siluman buaya, kedua orangtuanya memberikan sesajen. Disamping itu, antara suami isteri melakukan ritual perang ubi gadung yang merupakan makanan pokok mereka kala itu.

"Ubi gadung itu separuhnya diparut hingga dijadikan tepung untuk membuat air taber, dansebagiannya lagi dikepal-kepal supaya bisa dilempar-Iempar antara mereka berdua suami isteri tersebut. Jadi, menurut cerita orang dulu, taber tidak dilakukan se kampung kampung, namun dilakukan pada setiap kayu besar yang dianggap tempat tinggal siluman-siluman itu," kisah Deraham.

Deraham mengaku, dirinya tidak tahu secara pasti sejak kapan ritual perang ubi gadung ini diganti dengari ritual perang ketupat.7. Lebih Ian jut Deraham mengungkapkan, beberapa tahun silam, versih)ini pernah dibakukan melalui forum rapat semasa Camat Tempilang dijabat Yuliswan.

"Hanya saja tahunnya saya lupa. Yang jelas semasa Camat Tempilang dijabat Pak Yuliswan, versi ini sudah dibakukan melalui rapat yang dihadiri sejumlah tokoh masyarakat diantaranya almarhum H Saleh dan mantan Kades Tempilang almarhum H A Rahim Surai serta A Rani yang tinggal di Basun Desa Sinar Surya Kecamatan Tempilang," kenang Deraham.

Tangkap Buaya - Deraham mengungkapkan, berangkat dari kisah sang gadis kerap diambil siluman buaya saat tengah hari tersebut, dulunya sekitar sebulan sebelum hari pelaksanaan ritual perang ketupat digelar, selalu diawali dengan malang buaya atau menangkap buaya siluman yang dinilai kerap menganggu masyarakat setempat. Penangkapan siluman buaya ini tentunya dengan alat perangkap yang dirancang sedemikian rupa disertai pula dengan ritual-ritual tertentu. Setelah tertangkap, buaya siluman ini diarak keliling kampung dan akhirnya dibunuh.

Namun, seiring perkembangan zaman, ritual malang buaya ini sudah tidak dilaksanakan lagi. "Sekitar tahun 1950 hingga 1960-an, upacara pemalangan buaya ini masih ada," ujar Deraham. Disamping itu, Deraham juga mengatakan, awalnya ritual perang ketupat ini tidak dilaksanakan di Pantai Pasir Kuning Desa Air Lintang, melainkan di pesisir pantai yang berada di belakang rumah Kades Benteng Kota Satria Kamut, lokasi itu disebut-sebut temp at terdamparnya sepasang suami isteri pada zaman urang lorn yang tidak lain adalah orangtua sang gadis yang sering diambil siluman buaya.

"Terlepas dari itu semua, kita sebagai masyarakat perlu melestarikan adat perang ketupat ini sebagai aset kebudayaan daerah. Sedangkan pemerintah kita saja menganjurkan agar segal a aset budaya ini dilestarikan guna mendukung pariwisata," imbuh Deraham.

Perang Ketupat Sudah Ada Sejak 1883

MINGGU (24/8), puncak perayaan Ruwah dan Pesta Adat Perang Ketupat di Kecamatan Tempilang tahun 2008 digelar. Seperti biasa, puncak peryaan ruwah dan pesta adat perang ketupat tahun ini masih tetap dipusatkan di Pantai Pasir Kuning Desa Air Lintang Kecamatan Tempilang Propinsi Bangka Belitung.

Hanya saja, untuk tahun ini puncak perayaan tersebut agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yakni diadakannya pagelaran panggung hiburan rakyat sepanjang Senin (25/8) sejak pagi hingga sore hari yang menghadirkan artis - artis ibukota.

Namun tahu kah Anda, sejauh ini belum diketahui secara pasti kapan pertama kali ritual perang ketupat ini digelar. Seksi Seni dan Budaya Pesta Ruwah dan Adat Perang Ketupat 2008, Aidi, saat dikonfirmasi Bangka Pos Group di Tempilang, Kamis (21/8), mengaku, dirinya pun tidak tahu secara pasti kapan ritual perang ketupat tersebut pertama kali dilaksanakan.

Hanya saja, kata Aidi, sekitar tahun 2001 atau 20021alu, tim dari dinas terkait Provinsi Bangka Belitung pernah melakukan survei terkait perang ketupat ini. Menurut Aidi, tim tersebut dibawa oleh Darmin, putra Tempilang yang kini mengajar disalah satu sekolah negeri di Pangkalpinang. Aidi pun menyerahkan fotokopian yang disebut-sebut berisi tulisan hasil survei tim tersebut kepada harian ini.

"Kutipan hasil survei tersebut diperbanyak oleh Pak Darmin, dan kebetulan saya juga memegangnya," kata Aidi yang juga PNS di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pendidikan Kecamatan Tempilang. Ternyata, hasil survei tim tersebut juga belum berhasil mengetahui secara pasti kapan perang ketupat pertama kali digelar.

Hanya saja, tim ini menyebutkan, berdasarkan cerita turun temurun, pada saat Gunung Krakatau di Selat Sunda melutus tahun 1883, upacara tradisional perang ketupat ini sudah ada. Dijelaskan pula, upacara tersebut tetjadi pada zaman urang 10m yakni era dimana masyarakatnya belum mengenal agama. Mulanya, perang ketupat dilakukan dengan menggunakan ubi gadung, mirip ubi jalar, yang merupakan makanan pokok penduduk setempat pada saat itu.

Tim tersebut juga menjelaskan, selaras dengan kehidupan masyarakat Tempilang sebagai nelayan dan petani, maka setiap tahun dilaksanakanlah upacara tradisional taber kampung pada pertengahan bulan Sya'ban tahun hijriyah.

Upacara ini terdiri dari lima tahapan, penimbongan yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di darat, ngancak yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus di laut, perang ketupat yang merupakan kegiatan simbolis untuk memerangi kejahatan makhluk halus yang mengganggu aktivitas warga setempat baik didarat maupun di laut, nganyot perae (menghanyutkan perahu) sebagai simbol memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang dari luar Tempilang.

Terakhir, taber kampung yang bertujuan untuk membuang tasak besek (penyakit kulit) dan buyung sumbang (perzinahan). Usai digelamya serangkaian upacara tradisional tersebut, tokoh adat mengumumk:an pantangan-pantangan bagi segenap masyarakat di Th)empilang. Pantangan tersebut berlaku di darat dan di laut. Pantangan di darat diantaranya dilarang berkelahi dalam rumah tangga, tidak boleh berkerubung kain sarong (betukoi sangkot) di tengah kampung, menjemur kain di pagar serta dilarang bersiul.

Sedangkan beberapa pantangan di laut, diantaranya dilarang menangkap ikan laut dengan cara apapun selama beberapa hari, tidak boleh mencuci panci atau kuati di sungai maupun di Jaut, tidak boJeh mencuci perlengkapan orang melahirkan di sungai maupun di laut, dilarang berjuntai kaki di sungai maupun di laut, tidak boleh memukul kain di air, dilarang mencuci daging ayam di air sungai maupun laut dan dilarang mencuci kelambu di sungai atau di laut.

Bagi yang melanggar pantangan di darat akan dikenakan sanksi oleh dukun darat berupa membayar uang 40 ringgit dan satu dulang kue. Sedangkan yang melanggar pantangan di laut mendapat sanksi denda uang 12 ringgit serta bubur merah dan bubur putih sebanyak 40 dulang. Selain itu, diyakini pula mendapat hukuman alam berupa kecelakaan di laut. Demikian mungkin sejarah tradisi perang ketupat Bangka Propinsi Bangka Belitung, tapi yang pasti kita selaku generasi muda wajib meneruskan budaya leluhur kita dimana di dlamnya terkandung nilai2 kearifan. sumber bangkapos.

  • Content Title : Tradisi Adat Perang Ketupat Bangka
    Request detil informasi Tradisi Adat Perang Ketupat Bangka dengan menghubungi kami via whatsapp atau line